Jumat, 13 September 2013

Perempuan Dalam Partisipasi Program PNPM MPd di Kecamatan Paron

Proses Musyawarah Partisipasi Perempuan
Ngawi Berjuang......Ngawi Ramah...........dan Ngawi Membangun.....                              
Mungkin inilah slogan yang sering kita jumpai apabila kita berkunjung atau singgah diKabupaten Ngawi Jawa Timur. Ya memang tidak berlebihan rasanya apabila slogan tersebut kita tinjau dengan berbagai kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah kabupaten Ngawi, dan salah satunya adalah dengan memaksimalkan kinerja disemua sektoral termasuk dengan Program Nasional Pembangunan Masyarakat Mandiri Perdesaan ( PNPM – MP ). 
Hal ini dilakukan karena mengingat salah satu dari visi dan misi dari PNPM – MP itu sendiri adalah mewujudkan masyarakat perdesaan yang mandiri dan sejahtera. Maka dari itu Pemerintah kabupaten memberikan dukungan sepenuhnya terhadap progran tersebut demi menjadikan kehidupan masyarakat Ngawi lebih baik dan makmur untuk kedepannya.
Seiring dengan itu semua maka kegiatan PNPM Mandiri Perdesaan terutama diKecamatan Paron, Kabupaten Ngawi juga terus berpacu dan meningkat, termasuk dalam hal tingkat partisipasi perempuan, baik dalam dalam hal perencanaan maupun pembangunan sarana prasarana seperti pembangunanan jalan maupun talud.
Di Kecamatan Paron sendiri untuk Tahun 2012 ini pembangunan sarana prasarana yang melibatkan banyak perempuan didalamnya antara lain : pembangunan Talud didesa kebon dan pembangunan jalan telford didesa Babadan. Adapun dari tingkat kesejahtraan memang semuanya yang berpartisipasi masuk dalam katagori Rumah Tangga Miskin, sebagaimana juga tujuan dari PNPM MP itu sendiri yakni “ Mewujudkan Masyarakat yang Mandiri dan sejahtera “
Namun demikian itu semua juga tak lepas dari peran serta semua pelaku maupun stake holder yang terkait, karena memang tidak mudah untuk menggerakkan peran serta masyarakat terutama mereka dari kalangan Rumah Tangga Miskin untuk ikut serta berpartisipasi dalam suksesnya program tersebut.

Secara umum Laju pembangunan, perubahan sosial di dalam struktur masyarakat adalah sebuah fenomena yang harus disikapi dengan sebaik mungkin. Masyarakat yang tak mampu menyesuaikan diri dengan perubahan tersebut menjadi tersingkir dari sistem yang berubah. Alih-alih tuntas memecahkannya, kini wajah Indonesia justru diwarnai peningkatan jumlah masyarakat yang papa. Memang, data resmi pemerintah yang dirilis oleh BPS tampaknya membuktikan lain. Pada 2007-2010, ekonomi nasional bertumbuh dan jumlah masyarakat miskin turun. Namun, realitas terkini masyarakat di perdesaan menampakkan wajah kemiskinan dalam wujudnya yang paling telanjang dalam bingkai kehidupan.
Tinggal diamkah pemerintah Kabupaten Ngawi melihat itu? Tidak! Pemerintah telah banyak merealisasikan program penanggulangan kemiskinan. Berdasarkan skenario pemerintah, penanggulangan kemiskinan terbagi atas tiga cluster, yaitu: (1) cluster bantuan dan perlindungan sosial, (2) cluster pemberdayaan masyarakat, dan (3) cluster pemberdayaan usaha mikro dan kecil. Untuk cluster kedua, pemerintah mencanangkan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Perdesaan sejak 2007.
PNPM Mandiri Perdesaan mengupayakan tercapainya kesejahteraan dan kemandirian masyarakat miskin di perdesaan. Masyarakat dianggap sejahtera ketika kebutuhan dasarnya terpenuhi dan masyarakat dianggap mandiri ketika masyarakat: (1) mampu mengorganisir diri untuk memobilisasi sumber daya yang ada di lingkungannya, (2) mampu mengakses sumber daya di luar lingkungannya, dan (3) mampu mengelola segenap sumber daya tersebut untuk mengatasi kemiskinan.
Upaya PNPM Mandiri Perdesaan tersebut dapat dicapai dengan cara pendekatan multidisiplin yang berdimensi pemberdayaan. Tentu saja, pemberdayaan yang tepat, yang memadukan tiga aspek pemberdayaan, yaitu penyadaran, peningkatan kapasitas, dan pendayagunaan. Lalu, bagaimana potret pelaksanaan PNPM Mandiri Perdesaan? Benarkah seindah konsepnya? 
Sering saya jumpai juga dalam banyak kesempatan munculnya stigma bahwa PNPM adalah “program pemerintah ... yang membagi-bagi uang pembangunan ke desa”. Hal inilah yang menjadi salah satu sebab kemunculan kelas menengah-bawah. Sama halnya dengan pemilihan langsung kepala daerah dan presiden, PNPM memberikan keuntungan cukup besar bagi segelintir orang yang terlibat langsung di dalamnya. Pendapatan yang mereka peroleh selama program berlangsung cukup membawa mereka untuk menduduki kelas baru dalam struktur sosial masyarakat, yaitu kelas menangah. Namun tentu saja, oleh sebab sifatnya yang serta merta dan sementara, kelas menangah ini belum berkualitas. Mereka sejatinya “naik kelas” hanya dalam angka kuantitatif, karena dalam jangka sementara mereka telah mampu membiayai kehidupan mereka minimal 2-4 dollar AS per kapita per hari atau sekira Rp540.000-Rp1.100.000 per orang per bulan. Artinya, mereka rawan tergelincir jadi miskin kembali ketika program atau keterlibatan mereka di dalam program berakhir.
Kenyataan itu menjelaskan tak adanya korelasi antara pertambahan jumlah warga kelas menengah dan penurunan sikap apolitis, sentimen, perilaku kekerasan, dan fundamentalisme. Kelas menengah tengah dan atas biasanya melawan sikap-sikap tersebut, karena bagi mereka sikap-sikap tersebut akan membahayakan posisi ekonomi dan sosial mereka. 
Harus kita akui bahwa hal itu merupakan kenyataan. Di sebagian wilayah penerima dana Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) PNPM Mandiri Perdesaan, pelaku cenderung mengarahkan pilihan masyarakat kepada usulan-usulan pembangunan prasarana (pembangunan jalan, jembatan, gedung, dll.). Tak peduli lagi meski prasarana tersebut sebenarnya kurang bermanfaat terutama bagi masyarakat miskin. Sebagian pelaku hanya mengutamakan keuntungan pribadi yang dapat diperoleh dari dana sisa pembangunan prasarana. Kepentingan masyarakat miskin dianggap sepi. Prinsip dan kode etik program dianggap mimpi. Namun, akankah kondisi ini terus kita biarkan?
Pelaku PNPM dan segenap masyarakat harus menginsafi sepenuhnya pentingnya membangun desa dengan menumpukannya pada pembangunan manusia. Demikianlah salah satu prinsip atau nilai dasar pemberdayaan yang seharusnya menjadi landasan dalam setiap keputusan maupun tindakan yang diambil oleh masyarakat. Berdasarkan prinsip tersebut, hendaknya masyarakat lebih memilih kegiatan yang berdampak langsung terhadap upaya pembangunan manusia daripada pembangunan fisik semata.
Kita semai kesadaran tersebut ke dalam sanubari masyarakat. Kita sadarkan mereka bahwa yang terpenting justru mengupayakan pendanaan atas usulan-usulan yang berdampak langsung pada kebutuhan dasar masyarakat berkelanjutan. Usulan pendidikan bukan berarti prasarananya yang harus terus dibangun, tetapi beasiswanya, mutu pendidiknya, mutu bacaannya, dan seterusnya. Terus utamakan usulan-usulan yang berdampak pada peningkatan kapasitas dan pendayagunaan, misalnya pelatihan kewirausahaan. Ini akan selaras dengan pemberian pinjaman modal dari Simpan Pinjam khusus Perempuan (SPP). Akhirnya pinjaman tak hanya untuk konsumsi, tetapi benar-benar manfaat bagai pertumbuhan ekonomi di perdesaan.
 “ Sebaik – baik manusia adalah mereka yang memberi manfaat  “   By : Hamdan Hafizhulloh, S.T   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar